Di kampus, tepatnya di jurusan tempat saya biasa “mangkal”, sedang dibangun sebuah slot parkiran dan jalan khusus yang diwarnai dengan cat merah. Di pinggiran jalan itu diberi pembatas sekaligus pemegang dari logam. Sebuah logo yang dilukis dengan cat putih terpampang di jalan kecil itu. Gambar di logo menunjukkan jelas bahwa itu adalah jalan khusus untuk penyandang disabilitas; gambar seseorang yang duduk di atas kursi roda.
Lantas, apakah di jurusan itu ada mahasiswa penyandang disabilitas? Sejauh ini tidak. Tapi ya–ini hanya rahasia antar kita saja lho ya–karena akan ada akreditasi, jurusan melengkapi semua komponen yang diperlukan untuk akreditasi itu. Dengan kata lain, “ramah disabilitas” masuk dalam kategori penilaian.
Ya, menurut hemat saya, keterbukaan kampus untuk menerima penyandang disabilitas berkuliah itu sangat perlu, lantaran tak ada perguruan tinggi khusus disabilitas seperti jenjang sekolah. Dengan demikian, konsep pendidikan inklusif harus benar-benar jalan di dunia kampus.
Pendidikan inklusif di jenjang sekolah pun sebenarnya sudah lama dicanangkan, namun perjalanan atau perkembangannya terkesan stagnan. Eh, tapi ngomong-ngomong pendidikan inklusif itu sebenarnya apa sih? Saya akan coba jelaskan di bawah, namun karena ini akan cukup panjang, silakan pilih mana yang ingin anda baca di daftar isi di bawah ini.
Apa Itu Pendidikan Inklusif?
Secara sederhana, pendidikan inklusif dapat diartikan sebagai sistem layanan pendidikan yang mengatur agar penyandang disabilitas atau difabel dapat dilayani di kelas reguler, di sekolah umum bersama-sama dengan teman seusianya. Siswa difabel dapat belajar bersama dan mengakses semua fasilitas yang disediakan di sekolah.
Pendidikan inklusif dapat dilakukan mulai dari jenjang sekolah dasar hingga tingkat universitas. Artinya, pelajar difabel bisa diterima di dalam kurikulum, lingkungan, interaksi sosial dan konsep diri (visi-misi) sekolah atau universitas.
Tujuan pendidikan inklusif adalah untuk menyatukan atau menggabungkan pendidikan reguler dengan pendidikan khusus ke dalam satu sistem lembaga pendidikan, sehingga bisa memenuhi kebutuhan semua. Tujuan ini tentu menjadi manifestasi dari hak warga negara untuk mendapatkan pendidikan yang layak, yang termaktub di Pasal 31 Undang-undang Dasar 1945. Melalui program pendidikan inklusif ini hak semua orang, tanpa terkecuali, dalam memperoleh pendidikan dapat disatukan.
Selain itu, Direktorat Pendidikan Luar Biasa (PLB)–sekarang Direkorat Pembinaan Pendidikan Khusus (PPK)–dalam “Pedoman Penyelenggaraan Pendidikan Inklusi” menyatakan bahwa difabel hanyalah suatu bentuk kebhinekaan seperti halnya perbedaan suku, ras, bahasa, budaya dan agama.
Di dalam individu berkelainan pastilah dapat ditemukan keunggulan-keunggulan tertentu, sebaliknya di dalam setiap individu-individu pasti terdapat juga kecacatan tertentu, karena tidak ada makhluk yang diciptakan sempurna. Hal ini diwujukan dalam sistem pendidikan inklusif yang memungkinkan terjadinya pergaulan dan interaksi antar siswa yang beragam, sehingga mendorong sikap yang penuh toleransi dan saling menghargai. (dari Wikipedia)
Sejarah dan Perkembangannya di Indonesia
Di Indonesia, pendidikan inklusif sudah mulai dijalankan sejak tahun 2004. Awal mulanya program ini “diseriusin” itu setelah keluarnya Surat Edaran Dirjen Dikdasmen No. 380/C.C6/MN/2003. Dari data Kemendikbud, hingga saat ini jumlah sekolah di tingkat SD, SMP, SMA dan SMK yang telah menyelenggarakan baru sebanyak 29.317 sekolah. Dibanding jumlah total sekolah di Indonesia, sekolah penyelenggara pendidikan inklusif baru sekitar 11%.
Jumlah sekolah penyelenggara pendidikan inklusif baru sebanyak 29.317 atau 11% dari total sekolah di Indonesia.
Untuk perluasan program sekolah penyelenggara, pemerintah melalui Direktorat PPK mencanangkan sebuah Peta Jalan Program Pendidikan Inklusif Tahun 2017-2021 sebagai bentuk implementasi dari Undang-undang Nomor 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas.
Dalam peta jalan tersebut, pelaksanaan penyelenggaraan pendidikan inklusif dibagi dalam 4 tahap, yaitu Tahap Sosialisasi (2017-2018) dengan target penyamaan persepsi dan sosialisasi, Tahap Rintisan (2019) dengan target perubahan sikap satuan pendidikan dan masyarakat, Tahap Penguatan (2020) dengan target perluasan dan peningkatan mutu layanan, dan Tahap Implementasi (2021) dengan target implementasi di tingkat kabupaten/ kota dan nasional.
Kemudian, untuk model pendidikan inklusif yang diselenggarakan di Indonesia saat ini adalah model pendidikan inklusif moderat. Model ini juga disebut sebagai model mainstreaming, di mana pendidikan inklusif diselenggarakan dengan memadukan model terpadu dan inklusif penuh. Sederhananya, para siswa penyandang disabilitas bisa memilih bagaimana model kelas yang bisa diikuti. Lebih lengkapnya bisa dibaca di [sini].
Hak Penyandang Disabilitas Terkait Pendidikan
Jika di dalam pasal 31 UUD 1945 seluruh warga negara Indonesia berhak akan pendidikan, lantas bagaimana sebenarnya hak khusus yang dimiliki oleh penyandang disabilitas?
Sebenarnya aturan yang lebih lengkap mengenai hak-hak penyandang disabilitas ini sudah tertuang dalam UU No. 8 Tahun 2016 (berkas), bahwa penyandang disabilitas memiliki kesamaan kesempatan termasuk hak pendidikan baik secara inklusif ataupun khusus. Hak terkait pendidikan ini tertuang dalam pasal 10, di mana penyandang disabilitas berhak atas semua akomodasi yang layak sebagai peserta didik.
Siswa penyandang disabilitas tentu punya akomodasi khusus yang mesti diberikan oleh penyelenggara pendidikan, khususnya penyelenggara pendidikan inklusif. Dari media pembelajaran misalnya, pihak penyelenggara pendidikan harus menyediakan media belajar yang disesuaikan dengan kebutuhan siswa penyandang disabilitas. Sebagai misal, buku pelajaran dengan tulisan Braille bagi penyandang tunantera dan sebagainya.
Selain itu, dukungan lingkungan juga sangat diperlukan. Jangan sampai pelajar dengan kebutuhan khusus mendapatkan perlakuan yang tidak mengenakkan dari teman-temannya saat ikut belajar di sekolah umum. Pihak-pihak yang berwenang wajib memastikan bahwa siswa disabilitas bebas dari perundungan dan dapat mengeyam pendidikan dengan aman dan nyaman di sekolah penyelenggara pendidikan inklusif.
Tak hanya di sekolah, para penyandang disabilitas juga berhak untuk melanjutkan pendidikan ke perguruan tinggi. Mereka juga berhak untuk menjadi guru atau pengajar dan beberapa profesi lainnya. Nah, kabar baiknya, pemerintah sudah membuat regulasi dengan formasi khusus bagi para penyandang disabilitas dalam seleksi penerimaan Aparatur Sipil Negara (ASN).
Tantangan yang Dihadapi Kaum Difabel dalam Pendidikan Inklusif
Saya pribadi percaya bahwa pemerintah telah berusaha keras untuk mewujudkan amanat UUD 1945, khususnya hak mengenyam pendidikan bagi seluruh warga negara. Namun, kita mungkin bertanya-tanya, bagaimana sebenarnya pelaksanaan program ini di lapangan?
Jika pada jenjang sekolah dasar sampai menengah sudah ada sekolah penyelenggara pendidikan inklusif–meskipun baru 11%-nya, bagaimana dengan jenjang perguruan tinggi?
Sebuah rilis yang dipublikasikan oleh Tirto pada Oktober 2018 lalu mengatakan bahwa penyandang disabilitas masih terkendala saat mengakses perguruan tinggi. Meskipun pemerintah sudah menitahkan pada perguruan tinggi untuk membentuk Unit Layanan Disabilitas, namun yang sudah mengaplikasikannya baru beberapa. Ya, walaupun sudah ditegaskan kalau tidak membentuk unit ini akan dikenai sanksi administratif, mulai dari teguran hingga pencabutan izin penyelenggaraan pendidikan.
Askses penyandang disabilitas untuk bisa masuk perguruan tinggi sebenarnya sudah terbuka, pemerintah bahkan menyiapkan beasiswa khusus difabel. Namun demikian, tantangan yang mesti dihadapi tentu tidak mudah. Terlebih jika duduk di perguruan tinggi, teman-teman disabilitas harus siap untuk beradaptasi dengan atmosfir pembelajarannya.
Kesudahannya, kesusksesan program pendidikan inklusif ini mesti diwujudkan dengan kerja kita bersama. Jika pemerintah mengusahakan regulasi, maka keluarga dan teman-teman mesti mendorong penyandang disabilitas untuk bersemangat mengambil haknya dalam penyamaan kesempatan di dunia pendidikan. Dorongan di sini bisa moril dan akan lebih baik dengan materil.
Kita tentu berharap Indonesia, tidak hanya pemerintah tapi juga warga negaranya, bisa mewujudkan amanah-amanah UUD 1945 agar terciptanya sila ke-5 Pancasila yaitu “keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia”.
Semuanya bisa dimulai dari anda, jika saya sudah mencoba menuliskan ini, pastikan anda mengambil partisipasi dengan menulis hal yang sama. Atau paling tidak, bagikan saja artikel ini (maunyaa) di lini masa media sosial anda. Terima kasih sudah membaca. Salam.[]
Sekolah dan/atau perguruan tinggi di Indonesia belum banyak, sih, yang secara khusus menyediakan fasilitas bagi difabel. Jadi, malah terasa hanya para difabel yang harus menyesuaikan diri.
Tapi, akhir-akhir ini di Malang juga mulai gencar membangun fasilitas umum untuk difabel. Semoga juga perawatannya dan programnya lancar ke depannya, nggak cuma gencar di awal doang.
Mudah-mudahan ya Mbak, di Padang sepengetahuan saya belum ada kampus dengan Unit Layanan Disabilitas, meskipun beberapa mahasiswa di sini ada yang dari peyandang difabel.
Mereka berhak dapat kesempatan yang sama. Pemerintah gak cukup buat regulasi saja, tapi harus diawasi regulasi itu. Jadi teringat kasus drg. Romi yang baru selesai beberapa waktu lalu.
Jadi ingat, tahun lalu ada mahasiswi magang yg disabilitas mendengar. Jurusan DKV. Salut sama dosen pembimbingnya. Si mahasisiwi juga semangat mengerjakan tugas magang dan selalu ikut pengajian yg digelar rutin