Ketika mendengar atau membaca kata “rekayasa”, sebagian orang mungkin akan menilainya sebagai sebuah kata yang negatif. Hal itu masuk akal, sebab bagi mereka, rekayasa diartikan sebagai rencana jahat atau persekongkolan untuk mereka-reka suatu kejadian. Maka, jika mereka membaca judul tulisan saya ini, mereka akan cenderung untuk berpikir negatif bahwa “sudahlah, masa depan ketenagalistrikan dan energi negeri ini suram, pun kalau bagus itu hanya dalam laporan di atas kertas semata!”.
Baiklah, saya tidak ingin menyalahkan orang yang berpikir seperti itu. Saya teringat kata Ivan Lanin, dalam sebuah cuitannya di media sosial, “kata itu netral, tafsir manusia membuatnya berpihak”. Kata “rekayasa” pun sebenarnya netral–atau paling tidak memiliki dua makna. Bagi kami, anak-anak yang tumbuh dan lulus dari jurusan teknik mengartikan rekayasa sebagai penerapan kaidah-kaidah ilmu dalam pelaksanaan. Lebih lanjut, sebagai lulusan jurusan rekayasa mekanika (mechanical engineering/teknik mesin) saya merasa bertanggung-jawab untuk menuliskan ini agar bisa kita baca bersama.
Tapi tunggu dulu, sebelum kita sekonyong-konyong bicara tentang rekayasa ketenagalistrikan di Indonesia untuk masa yang akan datang, tentu tidaklah sempurna tanpa mengetahui apa yang sudah dilalui di masa yang lampau. Ya, maksud saya sejarahnya.
Sejarah Ketenagalistrikan di Indonesia
Dikutip dari laman kompas.com, sejarah ketenagalistrikan di Indonesia telah melalui perjalanan panjang, setidaknya semua itu bermula pada abad ke-19 saat beberapa perusahaan Belanda mendirikan pembangkit listrik untuk keperluan mereka sendiri.
Hari-hari pun berlalu hingga Belanda menyerah kepada Jepang dalam Perang Dunia II. Setelahnya, perusahaan-perusahaan listrik dan gas diambil alih Jepang. Hal ini bertahan hingga peristiwa jatuhnya Jepang oleh Sekutu dan proklamasi kemerdekaan Indonesia digemakan pada tanggal 17 Agustus 1945. Selang 1 bulan saja, delegasi/pegawai listrik dan gas bersama ketua Komite Nasional Indonesia Pusat (KNI Pusat) M. Kasman Singodimedjo datang menghadap Presiden Soekarno untuk menyerahkan perusahaan-perusahaan listrik dan gas kepada pemerintah Republik Indonesia.
Perusahaan-perusahaan yang telah diserahkan tadi selanjutnya dihimpun di bawah Jawatan Listrik dan Gas di bawah Departemen Pekerjaan Umum dan Tenaga yang dibentuk melalui Penetapan Pemerintah No. 1 tanggal 27 Oktober 1945. Nah, penetapan tersebutlah yang menjadi dasar tanggal 27 Oktober diperingati sebagai Hari Listrik Nasional.
Pertanyaannya, bagaimana perkembangan ketenagalistrikan di Indonesia sejak saat itu?
Melansir dari laman esdm.go.id, dari sebuah berita mengenai Hari Listrik Nasional ke-74, Menteri ESDM pada saat itu, Ignasius Jonan, mengungkapkan bahwa sebanyak 40% pasokan listrik nasional sudah ditingkatkan. Pada 2014 lalu, kapasitas listrik terpasang Indonesia mencapai 50 Giga Watt (GW) dan sudah meningkat mendekati 70 GW per Oktober 2019. Namun meskipun demikian, kapasitas listrik Indonesia masih tergolong kecil jika dibandingkan dengan negara-negara maju lainnya.
Pencapaian pemerintah, dalam hal ini diwakili oleh Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), tentu layak untuk kita apresiasi namun kemajuan teknologi selalu meminta tebusan dan membawa berbagai masalah. Salah satu masalah terbesar kita yang berkaitan dengan energi adalah polusi yang mendorong percepatan perubahan iklim. Masalah ini tidak hanya masalah sektoral, melainkan masalah global yang menyita perhatian orang-orang di dunia.
Energi Hijau Untuk Masa Depan Ketenagalistrikan
Perubahan iklim atau pemanasan global memanglah menjadi masalah utama dalam ketenagalistrikan. Faktanya, tenaga listrik di Indonesia sebagian besarnya masih disuplai oleh pembangkit energi fosil, khususnya batubara dengan porsi 50%. Impak dari hal itu adalah besarnya polusi gas CO2 yang dihasilkan oleh Indonesia. Per tahun 2017 saja, setidaknya dihasilkan 558 juta ton emisi karbon dioksida dari sektor energi.
Masalah di atas tentu saja sudah menjadi perhatian khusus Kementerian ESDM. Dalam sebuah rilis lainnya, ESDM bertekad menurunkan emisi 314 juta ton CO2 pada tahun 2030, tapi tentu saja itu bukan perkara yang mudah, sebab membutuhkan investasi setidaknya Rp. 3.500 triliun. Investasi yang diharapkan itu direncanakan untuk membangun instalasi pembangkit listrik energi baru terbarukan (EBT).
Rencana itu, menurut hemat saya, sangat masuk akal, menimbang tren pembangunan infrastruktur energi hijau di seluruh dunia. Pun jika kita bicara potensi, Indonesia sebagai negara tropis tentulah memiliki potensi yang sangat tinggi. Total potensi energi listrik yang bisa didapatkan dari EBT ditaksir mencapai 442 GW dengan rincian energi surya (207,8 GW), air (94,3 GW), angin (60,6 GW), bioenergi (32,6 GW), panas bumi (28,5 GW), dan energi laut (17,9 GW).
Potensi yang besar tadi tentu membutuhkan infrastruktur yang, untuk membangunnya, membutuhkan dana yang tidak sedikit. Pemerintah sendiri sudah berupaya membuat regulasi-regulasi khusus untuk mendorong berbagai pihak untuk mengutamakan pemanfaatan EBT. Tercatat ada beberapa peraturan yang berbicara tentang ini yaitu Perpres No. 4 Tahun 2016 (Pasal 14), Perpres No. 66 Tahun 2018, Permen Keuangan No. 177/PMK.011/2007 dan No.03/PMK.011/2012 serta 3 dari Kementerian ESDM melalui Permen ESDM No. 49 tahun 2017, No. 50 tahun 2017 dan No. 49 tahun 2018.
Namun, seabrek aturan tentu tidak cukup jika tidak ada aksi nyata dari berbagai kalangan. Sebagai masyarakat biasa saya tidak akan bicara lebih jauh mengenai bagaimana sektor swasta dapat mengambil peran dalam hal ini–sebab itu sudah termaktub jelas dalam himpunan regulasi. Saya akan mencoba menguraikan tentang bagaimana masyarakat dapat berkontribusi dalam rekayasa masa depan ketenagalistrikan Indonesia. Bukan tanpa sebab, faktanya sektor rumah tangga adalah konsumen terbesar dari energi listrik tersebut.
Rekayasa yang Dapat Dilakukan Masyarakat
Energi adalah sumber kehidupan dan saya sangat sepakat dengan itu. Tidak sekali-dua kali pekerjaan saya menjadi terhambat ketika listrik mati di kediaman saya. Sebagaimana saya, tentu Anda dan siapapun juga akan mengamini itu. Peristiwa blackout yang terjadi di Jakarta, Banten dan Jawa Barat tahun lalu menjadi bukti bahwa banyak sektor lumpuh sesaat ketika energi tidak dalam genggaman.
Untuk skop rumah tangga, nasi Anda bisa tidak matang kalau tidak ada listrik. Hei, ke mana kita harus mencari tungku dan periuk di zaman sekarang ini? Gampangnya, kita sudah sangat bergantung kepada listrik dalam menjalani aktivitas sehari-hari.
Namun terlepas dari itu, ketika kita bicara tentang ketenagalistrikan, khususnya dalam kacamata masyarakat, tentu tidak akan bisa terlepas dari tagihan. Alih-alih meminta masyarakat untuk menghemat listrik agar mengurangi emisi gas rumah kaca, mereka akan lebih sepakat dengan alasan menghemat listrik agar tidak bayar mahal.
Apapun itu, nyatanya ada beberapa rekayasa atau penerapan kaidah-kaidah tertentu agar penggunaan listrik rumah tangga dapat dihemat. Beberapa rekayasa tersebut akan saya jelaskan di bawah.
Gunakan listrik dengan bijak
Ada korelasi yang nyata antara tingkat pendapatan dengan konsumsi listrik di masyarakat kita. Sederhananya, semakin tinggi pendapatan maka semakin tinggi juga konsumsi listrik mereka. Argumen ini didukung oleh dua buah hasil studi di jurnal ilmiah berbeda yang menyatakan bahwa variabel pendapatan memiliki kontribusi yang signifikan terhadap konsumsi listrik rumah tangga.
Jika ditilik lebih lanjut, tingginya konsumsi listrik rumah tangga sangat erat kaitannya dengan penggunaan peralatan listrik dengan berlebihan. Sebut saja air conditioner (AC), kulkas, mesin cuci, setrika dan sebagainya. Oleh karena itu, upaya rekayasa pertama yang dapat dilakukan adalah menggunakan listrik dengan bijak agar biaya konsumsi dan polusi dapat ditekan.
Siapkan sumber energi cadangan
Meski saya tidak akan menganjurkan setiap rumah tangga memiliki setrika bara api, tapi saya ingin menyampaikan bahwa menyiapkan sumber energi cadangan di rumah kita masing-masing itu perlu. Sebagai contoh, Anda bisa menyiapkan genset yang bisa dipakai kalau listrik padam.
“Ah, bukankah itu sama saja sebab genset juga pakai minyak yang notabene energi fosil?”
Ya, saya tidak menyangkal itu, tapi paling tidak Anda bisa melanjutkan pekerjaan untuk sekadar sampai pada titik aman agar bisa dikerjakan kembali hingga listrik kembali nyala. Selain itu, menyiapkan kompor alternatif dengan briket juga dapat menjadi solusi ketika Anda tidak bisa memasak nasi dengan rice cooker.
Mulai investasi untuk energi baru terbarukan
Investasi untuk menerapkan pembangkit listrik EBT di Indonesia memang sangatlah besar, namun ketimbang menunggu pemerintah menyelesaikan itu secara bertahap, sebenarnya rumah tangga bisa berinvestasi untuk memulainya. Toh panel surya bisa didapatkan dengan mudah untuk diletakkan di atap rumah sebagai sumber energi alternatif.
Hanya saja, biaya instalasi yang mahal agaknya bukanlah satu-satunya penghalang utama sebuah rumah tangga untuk bisa mengadopsi salah satu EBT. Kurang teredukasinya masyarakat tentang pentingnya berpindah pada energi hijau menjadi faktor penghalang utama lainnya. Maka, sebelum berpikir tentang uang yang harus dikeluarkan untuk beberapa lembar panel surya, ada baiknya berpikir dahulu tentang bagaimana masyarakat bisa paham tentang urgensi memiliki itu.
Tiga buah rekayasa di atas menjadi induk dari semua upaya-upaya yang bisa kita lakukan dari skop rumah tangga. Ini akan sangat membantu dalam membangun masa depan ketenagalistrikan yang cerah di negeri kita tercinta ini. Kita tentu berharap semua masalah yang berkaitan dengan energi bisa diurai satu-persatu. Saya pribadi percaya pemerintah, melalui Kementerian ESDM, tengah berupaya keras untuk itu. Namun, sebagai seorang warga negara yang baik tentu seyogyanya kita juga ikut andil dalam berkontribusi.
Saya sebagai seorang narablog (blogger) berupaya menuliskan ini sebagai tambahan literasi kita terhadap ketenagalistrikan. Anda, terlepas dari apapun profesi dan latar belakang Anda, tentu punya pilihan tindakan masing-masing. Sebagai contoh jika Anda adalah penjual perlengkapan listrik, Anda bisa merekomendasikan lampu LED kepada pembeli. Kesudahannya, merekayasa masa depan terbaik untuk ketenagalistrikan Indonesia bukanlah seperti memasukkan unta ke lubang jarum. Bukan. Ia masih sangat mungkin untuk diwujudkan, ketika semua kita mau mengambil tindakan.[]
—
Referensi :
Vina F M. 2019. Peringati Hari Listrik Nasional, Sejarahnya Sejak Penjajahan Belanda di https://www.kompas.com/tren/read/2019/10/27/130015765/peringati-hari-listrik-nasional-sejarahnya-sejak-penjajahan-belanda (diakses pada 30 Agustus 2020)
Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral. 2019. Outlook Energi Indonesia 2019. https://www.esdm.go.id/assets/media/content/content-outlook-energi-indonesia-2019-bahasa-indonesia.pdf
Kementerian ESDM. 2020. Turunkan Emisi 314 juta ton CO2 Tahun 2030, Indonesia Perlu Investasi Rp 3.500 Triliun di https://www.esdm.go.id/id/media-center/arsip-berita/turunkan-emisi-314-juta-ton-co2-tahun-2030-indonesia-perlu-investasi-rp-3500-triliun (diakses pada 30 Agustus 2020)
Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan. 2018. Laporan Inventarisasi Gas Rumah Kaca (GRK) dan Monitoring, Pelaporan, Verifikasi (MPV) Tahun 2018. http://ditjenppi.menlhk.go.id/reddplus/images/adminppi/dokumen/igrk/lapigrkmrv2018.pdf
Sigit DP. 2020. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Pengeluaran Listrik Rumah Tangga. Efficient. 3(1):710-718.
Mutia R dan Syamsul AB. 2019. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Konsumsi Listrik di Indonesia. Jurnal Kajian Ekonomi dan Pembangunan. 1(2):273-286.
Salam kenal, Anda muda, berpendidikan, dan visioner luar biasa, saluut . Saya ingin belajar dari anda tks
Salam kenal, Pak. Terima kasih sudah mampir dan mengapresiasi tulisan saya. Sama-sama belajar kita, Pak
Alamak berat kali pembahasan Ajo Padh ini.
Bener kata yg di atas saya. Bang Padh Muda, dan visioner luar biasa.
Salam kenal Uda.
Dari judul sudah menarik, isinya asik, diakhir solutip. Salam kenal