Sebagai seorang muslim, saya percaya jika dana zakat, infak, sedekah dan wakaf (ZISWAF) bisa dikumpulkan dengan maksimal taraf kehidupan umat Islam akan meningkat. Ini bukan hanya pendapat saya saja, pemerintah juga tengah gencar mengkampanyekan zakat dan wakaf kepada masyarakat. Ziswaf ini adalah solusi untuk membangun ekonomi, khususnya ekonomi umat Islam.
Belum lama ini saya berkesempatan hadir di Jakarta dalam rangka memenuhi panggilan dari Direktorat Pemberdayaan Zakat dan Wakaf, Kementerian Agama RI. Saya diundang karena terpilih menjadi salah satu pemenang lomba blog yang diadakan oleh mereka. Dan alhamdulillah, saya berhasil keluar sebagai pemenang pada saat itu. Oh ya, Anda bisa membaca tulisan saya tentang wakaf itu di sini : Membangun Pilar Kebangkitan Umat dengan Tanah Wakaf, Mungkinkah?
Bicara tentang Ziswaf, potensi zakat Indonesia mencapai 230 triliyun rupiah per tahun. Jumlah yang sangat besar, bukan? Namun sayangnya yang bisa dikumpulkan tidak sampai 5% dari total itu. Hal ini bisa jadi karena memang belum munculnya kesadaran untuk berzakat di tengah masyarakat. Namun, bukan berarti hal ini tidak bisa diupayakan. Berbagai lembaga zakat telah “menjemput bola” agar potensi zakat dapat dimaksimalkan. Salah satunya adalah Dompet Dhuafa–yang untuk wilayah Sumbar bernama Dompet Dhuafa Singgalang.
Menengok program perbedayaan dana Ziswaf oleh Dompet Dhuafa Singgalang
Jelang Ramadhan tahun 2019 lalu, saya berkesempatan memenuhi undangan Dompet Dhuafa Singgalang untuk mampir ke Rumah Singgah yang mereka kelola. Rumah singgah itu dibuat untuk tempat persinggahan bagi pasien RS M Djamil Padang yang kurang mampu.
Di sana saya mendengarkan paparan Pimpinan Cabang Dompet Dhuafa Singgalang mengenai program Rumah Singgah Pasien sebagai bentuk pemberdayaan dana Ziswaf yang telah mereka kumpulkan. Cerita tentang ini juga telah saya tuliskan pada artikel bulan Maret 2019 lalu.
Baca juga : Jelang Ramadhan, Dompet Dhuafa Singgalang Sosialisasikan #JanganTakutBerbagi
Pada saat itu Tim Dompet Dhuafa Singgalang juga memberikan laporan tahunan mereka. Ternyata program pemberdayaan dana Ziswaf yang mereka buat beragam pula. Tidak hanya di bidang kesehatan, tapi juga di bidang ekonomi dan pendidikan. Baru-baru ini seseorang dari Dompet Dhuafa Singgalang juga mengabari saya bahwa mereka telah melakukan launching Program Petani Kopi Berdaya.
Dompet Dhuafa Singgalang Gagas Program Petani Kopi Berdaya di Sirukam
Salah satu program pemberdayaan dana ziswaf bidang ekonomi yang digagas oleh Dompet Dhuafa Singgalang adalah “Program Pemberdayaan Ekonomi Zakat Produktif Petani Kopi Berdaya” yang berlokasi di fasilitas pengolahan kopi, Jrg. Kubang Nan Duo, Nag. Sirukam, Kec. Payung Sekaki, Kab. Solok. Program ini telah diluncurkan pada Kamis (20/11/2019) lalu.
Daerah Sirukam sengaja dipilih karena merupakan salah satu daerah pertanian unggulan di Sumatera Barat, khususnya sebagai penghasil komoditas kopi arabika. Lahan perkebunan kopi di sini mencapai lebih dari 40 Ha, sedangkan yang sudah produksi seluas 10 Ha. Daerah potensial ini memiliki potensi produksi buah kopi (cherry) arabika sekitar 2,4 ton/Ha/bulan (untuk populasi 2.500 pohon/Ha) yang terletak pada ketinggian 1200 – 1500 mdpl. Tingginya potensi kopi menjadi peluang besar untuk dikembangkan.
Namun sayangnya, tingginya permintaan kopi solok tak sebanding dengan kondisi yang dialami petani kopi. Harga kopi dalam bentuk greenbean memang cukup tinggi, yaitu sekitar Rp 95.000 – 120.000 per kilogram, namun harga beli dari petani hanya sekitar Rp 4.000 – 6.500 / kg. Tentu saja hal itu membuat petani kopi di Sirukam menjadi kecewa.
Dompet Dhuafa Singgalang, melalui “Program Pemberdayaan Ekonomi Zakat Produktif Petani Kopi Berdaya”, berusaha untuk meningkatkan taraf hidup petani di sana agar mendapatkan penghidupan yang lebih layak. Hal ini dikarenakan Jorong Kubang Nan Duo termasuk daerah dengan banyak keluarga miskin. Tercatat, sebanyak 76 KK Miskin dari 484 jumlah KK serta terdapat 48 rumah tidak layak huni di Jorong Kubang Nan Duo. Penghasilan masyarakat sekitar Rp 1.950.000,- /bulan. Pendapatan sebesar itu dirasakan masih kurang untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Untuk mencukupinya, petani mengkonsumsi hasil pertanian lainnya yang mereka tanam sendiri, seperti beras, bawang, cabe, dan lain-lain. Serta, banyak Ibu-ibu rumah tangga yang bekerja sebagai buruh tani untuk mencukupi kebutuhan.[]