Lompat ke konten
Home » Mewujudkan Demokrasi Ekonomi dengan Perusahaan Publik Sesungguhnya

Mewujudkan Demokrasi Ekonomi dengan Perusahaan Publik Sesungguhnya

Satu dekade terakhir agaknya adalah masa di mana banyak perusahaan rintisan bertumbuh di negeri ini. Seiring waktu berlalu, sebagian dari mereka berkembang setelah disuntik oleh investor ini dan itu. Valuasi perusahaan rintisan, atau yang lebih akrab disebut startup, bertumbuh dan membesar hingga dikategorikan sebagai “unicorn” atau “decacorn” yang setingkat di atasnya. Lalu, belakangan mengemuka startup lokal yang ingin go public dengan melantai di bursa saham.

Sekilas Anda mungkin mengira kalau itu mah bagus, harusnya kita bangga dong ada perusahaan anak-anak bangsa yang bertumbuh. Tapi sayangnya, meski pun mereka bertumbuh dan mempublik, itu tidak akan cukup membantu kesejahteraan masyarakat. Ini mungkin terkesan agak keras, tapi baik unicorn atau decacorn itu telah terjerat dana kapitalis sebagai investor utama mereka.

Kabar buruknya, nilai valuasi yang besar dari sejenis decacorn itu membuat pusing Bursa Efek Indonesia. BEI bahkan mengkaji beragam opsi syarat baru agar si decacorn bisa melantai di papan utama. Aturan perusahaan papan utama, yang mesti membukukan keuntungan 1 tahun terakhir dan aset berwujud bersih minimal 100 milyar rupiah, jelas tidak bisa dipenuhi oleh sang startup–yang kental dengan praktek bakar duit. Tapi mereka juga tidak ingin saham mereka ditaruh di papan pengembangan, ya gengsi dong! Nanti semangat investor publik untuk membeli sahamnya juga harus dikembangkan.

Cuma terlepas dari itu, muncullah sebuah pertanyaan, pun ketika saham sudah dibeli oleh masyarakat, sejauh mana keterlibatan pemilik saham dari publik itu terhadap perusahaan?

Perusahaan Publik yang Tidak Dimiliki Publik

Saat sebuah perusahaan melantai di bursa saham dan membuka diri untuk publik, sebenarnya keterlibatan yang ditawarkan pada publik juga tak bisa dibilang banyak. Kasarnya, publik hanya jadi objek untuk ditawari saham dan obligasi dengan iming-iming dividen. Perusahaan publik atau terbuka (Tbk) yang berwujud perseroan terbatas itu dapat mengumpulkan pendanaan dari publik lewat saham tadi, tapi sayangnya seluruh kegiatan perusahaan tetap dipegang penuh oleh direksi dan jajarannya.

Kita tidak bisa berharap banyak pada perusahaan yang katanya publik untuk berorientasi pada kesejahteraan publik atau masyarakat. Kenapa? Sebab publik umumnya ditawari saham seri B yang biasanya tidak memiliki hak suara. Masyarakat memang boleh hadir ke Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS) namun mereka tidak bisa mengendalikan jalannya rapat serta memberikan suara untuk jalannya sebuah perusahaan terbuka.

Kenyataan tersebut membuat kita tahu bahwa ternyata perusahaan publik pun tidak dimiliki oleh publik. Publik (terkhususnya masyarakat umum) hanya bisa memiliki lembar-lembar saham yang bisa naik atau turun, bisa untung atau buntung, yang bisa dijual kembali lembaran-lembarannya tanpa ada wewenang untuk mewujudkan kesejahteraan masyarakat kebanyakan secara nyata.

Lantas, apa yang bisa kita harapkan dari perusahaan terbuka di sistem ekonomi yang seperti ini? Bisa dibilang kita hidup di negara yang menganut sistem demokrasi untuk sistem sosial dan politik, namun tidak untuk demokrasi ekonomi. Padahal jika demokrasi ekonomi bisa ikut menyertai kedua sektor lainnya, bukan tidak mungkin Indonesia jadi negara yang mandiri dan berdaya.

PT Garuda Indonesia adalah contoh perusahaan terbuka, sekitar 13% sahamnya dimiliki masyarakat (Sumber foto: Pixabay)

Demokrasi Ekonomi dan Bagaimana Perusahaan Publik Seharusnya

Omong-omong, pernahkah Anda mendengar istilah demokrasi ekonomi sebelumnya? Kita tahu bahwa dalam demokrasi semua warga negara punya hak yang sama atau setara. Setara yang dimaksud adalah setara dalam pengambilan keputusan yang dapat mengubah hidup mereka. Warga negara atau rakyat dapat berpartisipasi secara langsung atau melalui perwakilan dalam merumuskan, mengembangkan, dan membuat kebijakan tertentu. Nah, dalam demokrasi ekonomi juga semestinya begitu.

Sederhananya, demokrasi ekonomi adalah sistem ekonomi yang memungkinkan setiap orang untuk terlibat dalam proses produksi, distribusi dan konsumsi. Penekanan dalam demokrasi ekonomi adalah menjaga kepentingan individual dalam sistem hidup bersama dengan menciptakan sistem yang adil. Intinya, demokrasi ekonomi dapat mewujudkan ekonomi rakyat bukan ekonomi konglomerat. Sengaja saya cetak tebal lho ini.

Labih lanjut, Dewantara (2014) mengungkapkan bahwa demokrasi ekonomi itu mencakup 3 aspek, yaitu akses terhadap sumber daya ekonomi, tingkat pendapatan masyarakat yang berkaitan dengan daya beli, dan partisipasi kaum pekerja dalam kegiatan ekonomi. Di samping itu, pembukaan perusahaan agar sahamnya bisa dibeli publik juga termasuk bagian dari demokratisasi ekonomi, hanya saja dampaknya tidak signifikan.

Opsi terbaik untuk mewujudkan demokrasi ekonomi adalah menggeser format perusahaan dari perseroan terbatas (PT) menjadi koperasi pekerja. Dalam format koperasi, kaum pekerja secara langsung menjadi pemilik dari perusahaan itu, baik dan buruk jalannya perusahaan tersebut tentu ditanggung secara bersama secara demokratis.

Di samping itu, Faedlulloh (2016) menyebutkan bahwa salah satu bentuk aktualisasi nyata dari konsep demokrasi ekonomi adalah dengan mengembangkan koperasi sebagai alternatif solusi tata kelola agraria di Indonesia. Dia menilai bahwa reformasi agraria bisa kembali pada makna substantifnya jika tidak ada lagi monopoli atas tanah. Tujuan dari ini adalah kembalinya kesejahteraan rakyat.

Artinya, demi mewujudkan demokrasi ekonomi, perusahaan publik seharusnya berbentuk koperasi, di mana pekerja ikut menjadi pemilik perusahaan itu secara langsung. Dengan demikian, asas kekeluargaan yang menjadi ruh utama dalam perekonomian rakyat bisa mengejawantah dengan sebaik-baiknya.

Cuma, lagi-lagi kita terbentur sebuah pertanyaan lagi nih, apakah konsep ideal tersebut bisa terwujud?

Infografis oleh ajopiaman.com, gambar vektor dari koleksi pribadi

Menyalakan Kembali Mimpi Demokrasi Ekonomi

Jika pertanyaannya adalah bisa atau tidak bisa, jawabannya ya bisa. Demokrasi ekonomi bisa diwujudkan dengan sebaik mungkin dengan syarat negeri ini mau berbenah. Ide-ide tentang ekonomi kerakyatan sebenarnya sudah disuguhkan oleh salah seorang proklamator negeri ini, yakni Mohammad Hatta.

Hatta memberikan “perlawanan” terhadap dominasi konsep-konsep ekonomi liberal yang menurutnya bukanlah solusi terbaik dan tidak sesuai dengan kepribadian bangsa. Gagasan Hatta sampai sekarang bahkan menjadi bahan perbincangan para intelektual dan praktisi ekonomi.

Lalu, apa gagasan itu? Jika Anda menebak praktik perkoperasian, maka Anda 100% benar. Koperasi dan UMKM dinilai sebagai usaha perekonomian yang dekat dengan semangat masyarakat Indonesia yaitu gotong-royong.

Sesuai uraian-uraian di atas, kita bisa katakan bahwa mendirikan dan menguatkan koperasi, supaya menjadi sektor utama dalam ekonomi, adalah  tujuan utama (katakanlah visi) dalam mewujudkan demokrasi ekonomi yang kita impi-impikan. Namun, sebuah visi tentu tidak bisa terwujud tanpa adanya misi-misi penyertanya, bukan?

“Kalau begitu, apa misi-misi itu?” tanya pembaca.

Pertama, kita perlu mewujudkan demokrasi politik secara sempurna. Bagaimana pun, demokrasi politik menjadi prasyarat berjalannya demokrasi ekonomi. Ketika masyarakat punya partisipasi penuh dalam demokrasi politik, ini akan mengurangi peranan elit yang kita tidak tahu pasti orientasi pergerakannya, apakah murni untuk rakyat atau untuk “sponsor”.

Kedua, kita butuh banget untuk mencegah dan mengatasi monopoli di bidang ekonomi. Terkait ini, sebenarnya ada instrumen negara yang bernama Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) yang bagaimana pun harus dikuatkan agar punya modal kuat menghadapi konglomerat.

Ketiga, kita harus dorong tuh pemerintah untuk menciptakan aturan atau regulasi yang pro terhadap perekonomian rakyat, bukan perekonomian konglomerat. Realita sekarang malah sebaliknya, tidak perlu saya sebutkan satu per satu deh. Saya cukup heran tuh kenapa ada perusahaan tambang X bisa mendapatkan izin untuk mengebor setengah pulau kecil di daerah Sulawesi. Hmm.

Nah, kalau Anda perhatikan betul, di semua poin di atas tadi, saya menjadikan “kita” sebagai subjek, bukan pihak lain. Ada pun motivasi saya adalah karena kita ialah rakyat dan demokrasi ekonomi berorientasi pada kesejahteraan rakyat. Tentu saja kesejahteraan ini harus diusahakan oleh rakyat itu sendiri, bukan?

Ada banyak wujud upaya yang bisa kita lakukan untuk menyalakan kembali mimpi demokrasi ekonomi (tidak hanya sebatas 3 poin di atas tadi). Jika saya harus menuliskan semua misi-misi itu, agaknya lebih cocok ditulis di dalam sebuah buku ketimbang blogpost ini.

“Kasih contoh sedikit gimana? Biar pembaca bisa mengira-ngira?”

Intinya adalah berusaha sebaik mungkin dalam menerapkan asas kekeluargaan untuk mencapai kesejahteraan bersama. Contohnya, lebih memprioritaskan belanja ke UMKM ketimbang swalayan besar milik korporasi. Selain itu, juga bisa dengan tidak menjual tanah pada perusahaan-perusahaan konglomerat dan memilih untuk mengolahnya bersama rakyat.

Kesudahannya, mewujudkan demokrasi ekonomi memang adalah sesuatu yang berat, tapi demi kesejahteraan rakyat kita semua harus mengambil peran. Jika Anda punya daya, tidak ada salahnya menginisiasi koperasi dan menjalankan usaha berbasis itu. Ketika sebuah perusahaan berbasis koperasi bisa bergerak dan maju, maka kemajuannya adalah kemajuan bersama–kemajuan rakyat Indonesia yang sebenarnya, bukan sebatas kemajuan konglomerat saja. Yuk, kita rintis bersama kemajuan Indonesia seutuhnya dengan mewujudkan demokrasi ekonomi.[]

Infografis oleh ajopiaman.com, gambar vektor dari koleksi pribadi

Kredit foto:

Referensi:

  • Lavinda. (2021). BEI Kaji 5 Opsi Syarat Baru Pencatatan IPO Unicorn di Papan Utama. Diakses pada 07 Juli 2021, dari https://katadata.co.id/lavinda/finansial/60c81869709b7/bei-kaji-5-opsi-syarat-baru-pencatatan-ipo-unicorn-di-papan-utama
  • Nurul, Hanifah. (2021). Memahami Esensi Perusahaan Tbk dan Untung Ruginya. Diakses pada 07 Juli 2021, dari https://lifepal.co.id/media/perusahaan-tbk/
  • Dewantara, Reka. (2014). Rekonseptualisasi Asas Demokrasi Ekonomi dalam Konstitusi Indonesia. Arena Hukum, 7(2), 195-209.
  • Faedlulloh, Dodi. (2016). Membangun Demokrasi Ekonomi: Studi Potensi Koperasi Multi-Stakeholders dalam Tata Kelola Agraria Indonesia. Masyarakat Indonesia, 42(1), 65-67.
  • Pohan dkk. (2018). Rekonstruksi Pemikiran Ekonomi Kerakyatan Mohammad Hatta. Jurnal Ilmu Politik dan Pemerintahan, 4(1), 21-31.
  • Abbas, Tarmizi dan Manan, Win Konadi. (2005). Keterkaitan antara Demokrasi Politik, Demokrasi Ekonomi dan Sistem Ekonomi Kerakyatan. MIMBAR: Jurnal Sosial dan Pembangunan, 21(3), 429-439.
Bagikan yuk:

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *