Lompat ke konten
Home » Artificial Intelligence (AI): Saingan atau Teman?

Artificial Intelligence (AI): Saingan atau Teman?

artificial intelligent

Ketika pengelola jalan tol mengumumkan bahwa dalam waktu dekat, beberapa gerbang tol tidak lagi dijaga oleh petugas tetapi otomatisasi, masyarakat heboh. Lalu sibuk membela para petugas yang akan kehilangan pekerjaan. Demikian pula ketika aplikasi Gojek dikenalkan ke masyarakat, demo bahkan sweeping ke mobil-mobil yang dicurigai sebagai taxi online marak di Bandung.

Tak kurang beberapa mobil salah sasaran, terkena hantam supir angkutan kota yang emosi. Tak kurang pengemudi perusahaan taxi siaga di mall dan stasiun, siap menghadang mobil yang menjemput penumpang. Segalanya yang serba otomatis serta dalam genggaman menimbulkan kekhawatiran, bahwa manusia mendapatkan saingan baru bernama artificial intelligence.

Apa itu Artificial Intelligence?

Buku besutan Renald Kasali berjudul Disruption, menggugah masyarakat. Perlahan tapi pasti diuraikan satu persatu, bahwa apa yang kita peroleh selama ini sebetulnya adalah buah dari kecerdasan. Peradaban berkembang sejak zaman batu, manusia mulai berburu, bercocok tanam, menemukan mesin uap, komputer, hingga internet. Tidak berhenti sampai di sini, teknologi informasi pun melejit, sehingga kita bisa memesan apa saja hanya dari sebuah aplikasi di ponsel.

Diskusi dan seminar tentang Revolusi Industri 4.0 pun ramai digelar. Buku-buku tentang ini pun bermunculan. Bila dianalisis apa saja yang terjadi di sekitar kita, artificial intelligence (AI) atau kecerdasan buatan ini justru memperkuat kecerdasan manusia. Dari sudut terminologi AI adalah bidang ilmu komputer yang menekankan pada pencipatan mesin cerdas yang bekerja dan bereaksi seperti manusia. Teknologi AI memang berkembang sangat pesat di era Revolusi Industri Keempat ini.

Artificial Intelligence membantu kita mengenali wajah, pencarian internet, mengatur mesin cuci dengan sistem fuzzy logic, bahkan membantu menyetir mobil. Bahkan kita berharap AI dapat membantu untuk mengenali penyakit, memberantas perang, dan mengurangi kemiskinan.

Dampak Positif AI

Artificial Intelligence membawa kita menjelah ke berbagai peristiwa dunia. Layanan digital dari perangkat komputer hingga seluler semakin masif, bahkan pada penduduk di negara-negara terbelakang. Cara berkomunikasi secara langsung mengubah perilaku manusia dengan menggunakan layanan media sosial. Media sosial ini dapat membawa kita mengakses produk dan layanan langsung ke sumbernya, serta memperpendek jaringan distribusi yang boros energi. Dampaknya secara ekonomi global membuat barang menjadi lebih murah sampai ke tangan konsumen melalui layanan belanja dan pengiriman online.

Di bidang lain adalah kemajuan biomedis dengan penemuan-penemuan baru, otomotif dengan mobil yang bisa dikenalikan jarak jauh, dan otomatisasi di pabrik. Pekerjaan berulang di pabrik yang dilaksanakan oleh alat (robot), justru mengurangi resiko human error.

Dampak Negatif AI

Kekhawatiran bahwa bioteknologi dapat memodifikasi genetik manusia, mungkin saja terjadi. Misalnya menciptakan calon manusia yang kompetitif dalam belajar dan bekerja, tak kenal lelah, tetapi tak punya empati. Otomatisasi dan penggunaan robot menghilangkan jenis-jenis pekerjaan tertentu, bahkan bisa menyebarnya senjata baru.

Media sosial telah menembus batas privasi seseorang dan menyatukan banyak orang dalam satu wadah. Keadaan ini justru menciptakan kesenjangan sosial dengan adanya kesempatan persekusi siber (cyber-bullying). Termasuk di dalamnya adalah ujaran kebencian (hate speech), dan penyebaran berita bohong (hoax).

Tantangan Lapangan Pekerjaan di Masa Depan

Akibat AI apakah kita perlu khawatir lapangan pekerjaan “direbut” oleh robot? Padahal yang menciptakan robot-robot tersebut manusia juga. Ternyata ada satu hal yang tidak dipunyai oleh robot, walaupun secanggih apapun dia diciptakan. Yaitu: kreativitas. Robot tidak mempunyai kemampuan berkreasi, karena dia diciptakan dengan pemrograman tertentu dan jenis pekerjaannya pengulangan. Robot tidak mempunyai kemampuan memecahkan masalah yang memerlukan kecerdasan emosional.

Berikut beberapa jenis pekerjaan yang (paling mungkin) tidak digantikan oleh AI, yaitu:

  • Pengembang perangkat lunak
  • Penulis, content creator, jurnalis
  • Seniman, desainer
  • Koreografer, seni musik, film
  • Psikiater, dokter
  • Manajer sumber daya manusia
  • Event organizer
  • Pengacara
  • Pemimpin agama
  • Pekerja sosial

Baca juga : Chatbot dan Kudeta Terhadap Dinasti Customer Service Berbasis Manusia

Tentunya masih mungkin tercipta pekerjaan-pekerjaan baru yang justru memanfaatkan AI ini. Jadi, artificial intelligence saingan atau teman?

Referensi:

Kasali, Rhenald; 2017; Disruption; Gramedia Pustaka Utama; Jakarta

Savitri, Astrid; 2019; Revolusi Industri 4.0 – Mengubah Tantangan Menjadi Peluang di Era Disrupsi 4.0; Penerbit Genesis; Yogyakarta


*Artikel ini ditulis oleh Tri Wahyu Handayani

Tri Wahyu Handayani, lebih sering dipanggil Hani. Pengajar di perguruan tinggi swasta di Bandung di program studi Arsitektur. Penulis buku nonfiksi dan mengelola blog pribadi di haniwidiatmoko.com, visualbuku.my.id, dan blog lain dengan niche berbeda.

Bagikan yuk:

4 tanggapan pada “Artificial Intelligence (AI): Saingan atau Teman?”

  1. AI ibarat pisau, bisa bermanfaat bisa menjadi senjata makan tuan. Misal untuk humanity seperti penanggulangan virus Corona misalnya AI sangat dibutuhkan, bersama dengan teknologi drone & robot. Begitupun , sebagai security.Tapi, tetap saja harus ada operatornya, harus ada sisi emosional & psikologis, siapa itu? ya manusia. AI, robot, apapun namanya diciptakan untuk memudahkan manusia, tapi tidak untuk menggantikan pekerjaan manusia. Artikel yang bermanfaat & visioner

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *