Tatkala mendengar isu kenaikan iuran BPJS sekitar bulan Agustus tahun 2019 lalu, tak main-main hebohnya masyarakat. Saya kira masyarakat menengah ke bawah lebih heboh. Tak seperti masyarakat menengah ke atas di mana BPJS hanya “pemenuh kewajiban” sementara mereka punya jaminan kesehatan lain yang lebih “tinggi” value-nya daripada BPJS, masyarakat menengah-bawah paling terpukul dengan isu kenaikan itu. Meskipun pada akhirnya, per Februari 2020, peraturan tentang kenaikan iuran BPJS kesehatan itu dibatalkan oleh Mahkamah Agung, saya tak ingin berkomentar banyak, itu mah pakar atau akademisi hukum.
“Terus apa tujuan buat tulisan ini, Jo?”
Ya, bagaimana kalau kita coba cari solusi tentang bagaimana sebaiknya jalan keluar dari permasalahan BPJS ini? Saya kira teman-teman pembaca juga orang yang terdampak oleh kenaikan iuran yang tertuang dalam Peraturan Presiden (Perpres) No. 75 Tahun 2019 itu.
Kisruh Kenaikan Iuran BPJS Hingga 100%
Saya masih teringat betul, ketika saya sedang nongkrong di warung lontong untuk menikmati sarapan waktu itu. Saya mencuri dengar percakapan pelayan warung dengan salah satu pelanggan. Inti percakapannya adalah bagaimana caranya menurunkan kelas BPJS kesehatan. Pasalnya, iuran kelas 1 naik 100% dari 80.000 menjadi 160.000 rupiah, sedangkan iuran kelas 2 malah naik 116% dari 51.000 menjadi 110.000 ribu rupiah. Sedangkan iuran kelas 3 kenaikannya “hanya” 65% dari 25.500 menjadi 42.000 rupiah. Sontak, itu menjadi pukulan telak bagi masyarakat menengah-bawah, tak terkecuali saya yang tak bisa masuk menjadi tanggungan orangtua yang Aparatur Sipil Negara (ASN) karena jatahnya buat adik-adik saya. Eh.
Usut punya usut, usulan kenaikan iuran BPJS Kesehatan tak lepas dari kondisi yang dialami oleh badan hukum publik tersebut. BPJS Kesehatan sendiri sudah mengalami defisit yang tak bisa dibilang sedikit. Sebagaimana berita yang dilansir oleh Kompas.com (2/20), menteri keuangan Republik Indonesia, Sri Mulyani, mengungkapkan bahwa BPJS Kesehatan masih defisit 15,5 triliyun rupiah. Defisit inilah yang agaknya menjadi latar belakang kuat untuk “mengorbankan” rakyat dengan menaikkan iuran.
Memang saya tak memungkiri ada penyebab lain dari itu, bisa karena pembayaran premi yang macet dan sebagainya. Tapi agaknya diskusi di dalam acara Indonesia Lawyers Club (ILC) dengan tajuk “BPJS Sudah di Ruang UGD” yang tayang pada 23 Oktober 2018 ini bisa menambah khasanah kita tentang permasalahan BPJS Kesehatan yang berlarut-larut. Video saya lampirkan di bawah ya.
Iuran BPJS Terbaru Masih Dipungut Meskipun Dibatalkan MA
Dikutip dari Bisnis.com, Mahkamah Agung (MA) telah membatalkan kenaikan iuran BPJS Kesehatan melalui putusan judicial review (JR) terhadap Perpres No. 75 Tahun 2019. Menurut MA, Pasal 34 ayat 1 dan 2 di dalam Perpres tersebut tidak memiliki kekuatan hukum mengikat dan bertentangan dengan sejumlah undang-undang. Tapi sayangnya, per 2 April 2020 Detik.com masih mengabarkan bahwa iuran BPJS Kesehatan kesehatan belum juga turun meski ada pembatalan tersebut.
Konon katanya, pihak BPJS Kesehatan masih mempelajari putusan MA tersebut, hal ini dijelaskan oleh Kepala Humas BPJS Kesehatan Iqbal Anas Ma’ruf. Lebih lanjut ia mengatakan bahwa pada intinya BPJS Kesehatan akan mematuhi putusan MA. Hak peserta tidak akan hilang, kelebihan pembayaran akan menjadi saldo peserta. Saldo ini bisa digunakan untuk pembayaran iuran bulan selanjutnya.
Jika memang demikian, saya kira itu cukup adil untuk masyarakat kita saat ini yang memang sedang dalam kondisi perekonomian yang tidak baik. Masyarakat, menurut hemat saya, mesti mengawal dengan baik putusan MA tersebut. Tentu kita berharap banyak pada perwakilan masyarakat di gedung Dewan Perwakilan Rakyat di sana, yang memang dipilih bukan dilotre untuk menjadi corong penyampai aspirasi masyarakat Indonesia.
Mencari Jalan Keluar Terbaik Untuk BPJS Kesehatan
Pada akhirnya, terlepas dari semua permasalahan BPJS Kesehatan yang saya tak ingin berkomentar banyak tentang itu, BPJS Kesehatan membutuhkan jalan keluar terbaik dari masalah itu. Lalu, seperti apa jalan terbaik untuk keluar dari permasalahan yang tengah mendera itu?
Ada beberapa hal yang agaknya bisa dilakukan–ini hanya opini saya saja ya, teman-teman pembaca juga boleh beropini di kolom komentar nanti. Cara pertama yang bisa dilakukan adalah dengan memotong tunjangan bagi pegawai BPJS terutama tunjangan para direksinya. Sebagai badan pemerintah, BPJS Kesehatan hendaknya mendahulukan kepentingan publik daripada kepentingan pribadi atau golongan. Lagipula yang dipotong kan hanya tunjangan, bukan gaji pokok yang agaknya sudah mencukupi kebutuhan hidup–bukan keinginan hidup.
Adapun cara kedua adalah tetap menaikkan iuran BPJS Kesehatan, hanya saja kenaikan tersebut disesuaikan dengan besaran pendapatan dari masing-masing anggota. Konsep BPJS Kesehatan setahu saya adalah subsidi silang, oleh karena itu seyogyanya orang yang berlebih menyubsidi orang yang kurang, bukan justru sebaliknya. Memang ini membutuhkan sedikit usaha ekstra, tapi itu lebih baik ketimbang membuat masyarakat memekik karena besarnya iuran yang harus mereka bayarkan.
Nyatanya mungkin dua solusi di atas hanyalah solusi yang masih sangat mentah, yang keluar dari pemikiran seseorang yang sudahlah bukan ekonom, bukan ahli hukum pula. Tapi sebagai bagian dari masyarakat Indonesia, saya mencoba mengungkap pendangan saya. Teman-teman pembaca mungkin punya pandangan lain, terkait permasalahan ini, bagaimana menurut Anda?[]
—–
Sumber bacaan:
https://money.kompas.com/read/2020/02/18/170600926/sri-mulyani–bpjs-kesehatan-masih-defisit-rp-15-5-triliun
https://finansial.bisnis.com/read/20200322/215/1216570/ma-batalkan-kenaikan-iuran-bpjs-kesehatan-iuran-belum-berubah
https://finance.detik.com/moneter/d-4961832/iuran-bpjs-kesehatan-belum-turun-meski-ada-putusan-ma